Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Artikel’

Seketika bangsa ini mulai dibiasakan oleh Tuhan dengan serentetan bencana. Sepuluh tahun terakhir, bisa disebut sebagai dasawarsa Bencana. Bahkan disaat tulisan ini dibuat, negeri yang perpenduduk mayoritas Islam ini, sedang dirundung ‘bencana keadilan’ terkait dengan kontroversi kasus KPK, POLRI dan KEJAGUNG, yang secara substantive lebih berbahaya dibanding bencana alam laninnya. Beragam ulasan dan perspektif dibangun oleh semua kalangan, tentang bagaimana menyikapi situasi yang serba rugi dan duka ini. Dalam konteks bencana (gempa, banjir, tsunami, pesawat jatuh, kelaparan, longsor dan lain sebagainya), menyiratkan juga sebuah pertanyaan teologis yang menuntut nalar epistemologis kita untuk mendedah dan menelaahnya. Sehingga dalam lanskap berfikir ke-NU-an dengan teologi Asy’ariah, saya dengan segala kekurangan dan kelemahan menemukan sederet pertanyaan, bahwa “apakah bencana itu mahluk Tuhan atau bukan?, kalaupun ia mahluk, lalu bagaimana hubungannya dengan kemahlukan manusia dengan statusnya sebagai Khalifah di muka bumi”? (QS ; Albaqarah, 23)
Lalu apakah dengan segala kecerdasan dan kehebatan manusia, mampu meniadakan, menghancurkan bahkan memusnahkan bencana dari sisi kehidupan manusia? Teologi Asy’ariah telah menjawab tuntas hal ini. Selain Tuhan, semua yang sesuatu itu adalah mahluk. Bahwa karena bencana adalah mahluk Tuhan, sehingga amarah terhadap bencana indentik dengan menghindari kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Dalam pandangan sufistik, kehadiran musibah, penganiayaan atau kematian, justru disikapi dengan ungkapan alhamdulillah, dilanjutkan dengan innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Memuji kebesaran dan kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu, bahwa DIAlah yang paling berhak atas semuanya ini. Segalanya dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Bersabar dan ikhlas menerima segala ketentuan Tuhan termasuk bencana, di sisi lain dianggap sebagai salah satu cara Tuhan meningkatkan dan mengangkat derajat kemanusiaan di hadapan Tuhan. Olehnya, pada tataran tertentu bencana yang telah begitu seringkali menimpa bangsa ini, dengan korban jiwa dan material yang tak terhitung jumlahnya, tidak selamanya harus diratapi apalagi menjadi manusia fatalistik, akan tetapi bencana pun mampu menjadi media untuk meningkatkan proses pengenalan dan kesepahaman kita dengan Tuhan.
Namun masalahnya, dampak yang ditimbulkan oleh bencana, tidak serta merta selesai dengan sikap mengembalikannya pada Tuhan. Erich From menyebut sikap seperti ini sebagai bentuk escape from freedom, lari dari kebebasan. Bukankah segala kerusakan di langit dan di bumi terjadi akibat kelalaian manusia itu sendiri? Sebuah refleksi cultural masa lalu, dimana Orang tua kita sering kali melarang dengan dogmatisasi ‘pemali’ melakukan aktivitas membawa dan mencuci peralatan dapur di sungai. Pesannya, bahwa “penjaga sungai akan marah bahkan bisa mencelakaimu”. Sepintas dengan nalar seorang anak yang masih kecil, mempercayainya dan ikut mewariskan pesan itu kepada generasinya. Hemat saya, ini merupakan cara moyang kita mengapresiasi dan menjaga kelestarian dan kelangsungan hidup ekosistem dan seluruh elemen yang berkepentingan pada sungai. Sisa makanan dan minuman yang melengket pada peralatan dapur dikhawatirkan dapat meracuni mahluk hidup di sungai dan akan mengotori kebersihan air sungai. Pesan tersebut seharusnya mensugesti cara pandang kita di masa kini, bahwa jika sisa makanan dan minuman saja tidak diperbolehkan mengotori sungai, seharusnya pembabatan hutan dan penumpukan sampah di hulu dan hilir tidak dilakukan. Karena secara perlahan tapi pasti dapat menimbulkan ketidak-seimbangan kehidupan manusia itu sendiri.
Sejarah perkembangan peradaban manusia pada mulanya memiliki sikap dan kepercayaan akan ketertundukan dan ketergantungannya pada alam. Para arkeolog dan filolog (peneliti teks-teks kuno) menunjukkan bahwa manusia sangat takut dan begitu memuliakan alam. Bahkan sebagian diantaranya rela dijadikan sebagai persembahan (dibunuh) dengan tujuan agar alam tidak ‘marah’ dan kehidupannya tetap bisa berjalan normal. Ritual ini dilakukan ketika terjadi bencana seperti gunung meletus, banjir, hasil tanamannya rusak dan lain sebagainya. Sistem kepercayaan seperti ini disebut animisme atau dinamisme. Sebuah kepercayaan yang menjadikan unsur-unsur alam sebagai ‘Tuhan’. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peradaban kita terjebak pada cara pandang yang materialis pragmatis. Kita justru ingin menaklukkan alam dan menjinakkan alam. Sehingga prilaku mengeksploitasi alam demi kepentingan dan keuntungan serta laju pembangunan cenderung merusak eksistensi alam yang seharusnya diposisikan sebagai mitra kemanusiaan yang berhak diperlakukan secara manusiawi.
Era yang biasa disebut era globalisasi ini, dimana alam semesta dipandang sebagai small village (kampung kecil), memang tidak lagi menjadikan alam sebagai ‘Tuhan’, tetapi secara radikal dijadikan sebagai ‘budak-budak’ pelayan hasrat manusia. Bencana sebagai salah satu elemen kehidupan di muka bumi adalah ‘bentuk protes dan rintihan alam’ kepada Tuhan, bahwa posisi manusia sebagai khalifah telah terdistorsi. Sehingga banjir bandang, tsunami, kebakaran, longsor beserta segala bentuk bencana kemanusiaan, adalah cara Tuhan memediasi ekspresi alam guna menyapa kelalaian manusia pada tugas dan fungsinya sebagai khalifah, sebagai agen of universe (agen alam semesta).
Manusia sebagai agen of universe, meminjam istilah Thomas Kuhn dalam adalah sebuah paradigma terhadap alam beserta seluruh mahluk, baik yang nampak maupun yang tidak, sebagai sesuatu yang interdependensi (saling ketergantungan), memiliki nilai dan manfaat bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan. Manusia sebagai ciptaan adalah mahluk yang paling mulia diantara semua ciptaan Tuhan. Amanah yang diembannya sangat besar dalam memelihara harmonisasi alam semesta. Dimana paradigma ini secara ontologis melampaui eksistensi manusia sebagai agen of social (agen masyarakat). Karena pengabdiannya terbatas hanya pada ranah social kemasyarakatan. Sedangkan manusia sebagai agen alam semesta dituntut memadukan aspek kasih sayang Tuhan dengan statusnya sebagai khalifah dalam mengabdi pada segala ciptaan, mengabdi untuk semua..
Untuk itu, hemat saya, bahwa setiap cara kita menyikapi bencana, tidaklah cukup hanya melakukan rehabilitasi pisik prasarana maupun rehabilitasi sosial psikologis. Karena yang juga tak kalah pentingnya adalah melakukan rehabilitasi paradigma terhadap keberadaan bencana dengan segala yang ditimbulkannya. Paradigma manusia sebagai agen of universe merupakan penjabaran prilaku kemanusiaan, baik agamawan, pejabat publik, politisi, pengusaha, aktivis pemuda dan mahasiswa maupun elemen masyarakat lainnya untuk berperan dengan posisi yang berbeda demi kemaslahatan dan kebajikan ber-sesama. Kemaslahatan dan kebajikan yang tidak bias dalam dikotomi kepentingan mereka dan kami. Namun diikat oleh spiritualitas ke-kita-an selaku sesama mahluk Tuhan di muka bumi.
Bencana memang sesuatu yang niscaya bagi alur sejarah kehidupan manusia. Sebagaimana niscayanya Kemurahan Tuhan yang melimpahkan ilmu-Nya kepada manusia untuk melahirkan rumusan strategis menyangkut penanggulangan bencana. Sehingga kehadiran bencana dibumi ini telah menggugat kekhalifaan umat manusia Jika memang demikian, lalu mengapa yang kecil dan yang lemah pun harus ikut menjadi korban? Wallahu a’lam.

Read Full Post »